Geliat ”Syahwat” Politik Nahdliyyin

Opini Oleh: H A Adib Hambali (*)

GELIAT Pilkada 2018 mulai terasa sejak pendaftaran calon kepala daerah belum lama ini. Parpol pengusung dan tim sukses masing-masing pun mulai bergerak dalam penggalangan dengan menyasar kelompok-kelompok masyarakat.

Tidak terkecuali warga NU (Nahdliyyin), menjadi target penggalangan. Apalagi sejumlah tokoh NU masuk dalam kontestasi Pilkada yang digelar Juni 2018.

Karena itu PWNU Jatim dalam rapat, Selasa 16 Januari 2018, pun perlu memberi beberapa tausiah, seperti capos berantai yang beredar di kalangan warga NU.

Di antara tausiah yang perlu digarisbawahi adalah: para kiai sepuh NU Jatim agar berkomitmen,  kompak dan bersatu dan mencari jalan keluar dari kemelut terkait dengan reformasi kepemimpinan umat di Jatim 2018.

Para kiai NU Jatim berpesan agar seluruh jajaran pengurus NU, baik harian lembaga dan banom untuk menjaga ukhuwah nahdliyah. Tidak boleh berpecah belah yang dipicu oleh beda pilihan politik praktis, baik di Pilkada  2018 maupun Pemilu 2019.

Selanjutnya, tidak boleh ada lembaga di lingkungan NU Jatim yang menggunakan nama kelembagaan untuk kepentingan politik praktis.

Tausiah itu penting untuk menghadapi godaan politik praktis yang bisa memantik munculnya ”syahwat” politik para elite NU, baik struktural maupun kultural di semua tingkatan.

Sebab saat ini semakin marak proses-proses penggiringan dengan berbagai dalih yang muaranya ke politik praktis supaya memilih calon yang dijagokan masing-masing elite NU.

Tausiah PWNU Jatim itu arahnya tertuju pada sikap orang NU struktural dan kultural yang lebih cenderung mengedepankan pemenuhan ”syahwat” politik mereka dibanding konsistensi dalam mengurusi dan menjaga khittah NU.

Sementara, Nahdliyin di tingkat bawah dipusingkan oleh kontradiksi sikap politik sebagian elite NU. Kegamangan masyarakat mengerucut pada persoalan tokoh struktural dan kultural berpolitik praktis ikut menjadi tim sukses (timses).

Strategi Politik

Semestinya sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, elite NU mampu mensinergikan antara tiga peran, yaitu menanamkan keberagamaan tradisional yang moderat dan toleran (Bruinessen:1999:3-8);.

Juga memberdayakan masyarakat di bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya; dan, secara umum, dan mempertahankan, dan membangun bangsa dan negara.

Strategi politik NU adalah politik kebangsaan bertanggung jawab mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menolak bentuk disintegrasi apa pun.

Adapun politik kerakyatan, NU perlu memahami agama tidak hanya urusan akherat semata, tetapi juga sebagai agen perubahan sosial. Politik kerakyatan menemukan bentuk dalam memberdayakan masyarakat, pendampingan terhadap perjuangan hak-hak rakyat dan kaum tertindas.

Peningkatan dan pemerataan pendidikan, dakwah keagamaan, pemberdayaan ekonomi kecil-menengah terus dimaksimalkan guna mewujudkan civil society.Politik NU untuk memuluskan perjuangan mewujudkan civil society dan kemajuan bangsa, NU menganggap perlu mengambil peran dalam perpolitikan.

Jalur politik menjadi salah satu pintu efektif mewujudkan mimpi terciptanya bangsa yang beradab. Jadi politik NU adalah strategi aktualisasi peran NU dalam ranah politik bangsa ini.

Merujuk Khittah pada Muktamar NU di Situbondo, Jawa Timur (Jatim), 1984, NU sejatinya mengambil jarak dengan partai politik (parpol) dan kekuasaan. Maksudnya, kontribusi NU pada ranah politik praktis dibatasi pada peran sebagai kontrol dan menyumbang gagasan balik (solusi) sebagai hasil pembacaan utuh atas problem bangsa.

NU perlu menempatkan diri: kapan bersinergi dan kapan membuat jarak dengan kekuasaan dan parpol. Dengan moderasi sikap NU seperti itu, peran pemberdayaan masyarakat tidak akan terabaikan.

Dengan begitu mampu memahami dan menerjemahkan politik kekuasaan, sehingga tidak terjadi fenomena politisasi organisasi. NU dijadikan kendaraan oknum tertentu untuk memuaskan ”syahwat” politik praktis dan kepentingan mereka sendiri.

Tampaknya politisasi NU dalam politik praktis sangat kental terutama pada momen Pemilihan Kepala Daerah Pilkada 2018. Kenyataan itu dianggap lumrah terjadi sehingga tak mampu membuka mata untuk berusaha menyelesaikan persoalan itu.

Padahal terjun di ranah politik praktis tanpa menanggalkan baju ke-NU-an itu tidak sesuai khitah. Jangan sampai Khittah NU dituduh hanya sekadar kedok untuk melindungi ”syahwat” politik orang tertentu.

Tuntutan Khittah ialah mempertegas garis gerak sosial politik NU demi mencapai pencerahan politik bangsa (Masmuni Mahatma: 2005:14).

*Penulis: Pemerhati politik, Redaktur di Bojonegoro.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *